Jumat, 03 Oktober 2014

Istri Yang Berhati Malaikat

Cinta itu butuh kesabaran..
Sampai di manakah kita harus bersabar menanti cinta kita..?
Hari itu, aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita..
Aku menjadi perempuan yang paling bahagia..
Pernikahan kami sederhana namun meriah..
Ia menjadi pria yang sangat romantis pada saat itu.
Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang sholeh, pintar dan mapan pula.
Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya,
Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janji kita saat pacaran dulu, dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci.
Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku.. sangat terlihat dari rasa cinta dan sayangnya padaku.
Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimna suamiku memanjakan ku. Dan aku bahgia menikah dengannya.

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup  berdua saja karenasampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.
Karena dia anak laki laki satu”.nya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha memberi penerus generasi baginya.
Alhamdulillah saat itu suami ku mendukungku, ia menganggap allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipannya.
Tapi, keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu dan adiknya tidak menyukaiku, aku sering mendapatkan perlakuan yang tidak mnyenangkan dari mereka, namun aku slalu menutupi hal itu dari suamiku. Di depan suamiku mereka berlaku sangat baik kepada ku, tapi, di belakang suamiku aku di hina-hina oleh mereka.
Pernah satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suamiku selamat dari maut yang hampir membuatku menjadi seorang janda itu.
Ia di rawat di rumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri dari kecelakaannya. Aku selalu menemaninya siang dan malam sambil ku bacakan ayat suci alqur’an. Aku sibuk bolak balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosialku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.
Namun saat aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adiknya dan teman-teman suamiku, dan saat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku, mereka tertawa menghibur suamiku.
Alhamdulillah ternyata suamiku sudah sadar, aku menangis ketika melihat suamiku sudah sdar, tapi, aku tak boleh sedih di hadapannya.
Kubuka tutup pintu yang rapat itu sambil mengatakan “assalamu’alikum” dan mereka menjawab salamku. Aku berdiam sejenak didepan pintu dan mereka semua melihatku, suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kengen padaku karena sudah 5 hari matanya tertutp.
Tanganya melambai, mengisyaratkan aku utnuk memegang erat tanganya. Setelah aku menghampirinya, ku cium tangannya sambil berkata “assalamualaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suara merintih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.
Lalu, ibunya berbicra dengan ku.
“Fish, kenalkan ini Laila teman Fikri”.
Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Dina dan dia sangat cantik dan akrab dengan suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Akupun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut, aku tak mengerti apa yang merka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan dan mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku mebersihkan mukanya, tiba tiba adik iparku yang bernama Dian mengajakku keluar keluar, ia minta di temani ke kantin. Dan suamiku pun menginjinkannya, kemudian akupun menemaninya.
Tapi ketika di luar adik iparku berkata “lebih baik kau pulang saja, ada kami yang mengurus abang disini, kau istirahat saja”.
Anehnya, aku tak boleh berpamitan dengan suamiku, dengan alasan abang harus banyak istirahat dan karena psikologinya masih labil. Aku berdebat dengan adik iparku dan mempertanyakan kenapa aku tidak boleh berpamitan dengan suamiku.
Tapi, tiba tiba ibu mertuaku datang, dia juga mengatakan hal itu juga. Nantinya dia akan memberikan alasan pada suamiku mengapa aku pulang tidak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah atau tidak, suamiku selau membenarkannya. Akhirnya akupun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.
Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan untuk menjenguk suamiku sampai kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis mengapa mereka sangat membenciku.
Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya terbagi dengan yang lain.
Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggilku ke taman belakang, ia baru saja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.
Aku bertanya “ ada apa kamu memanggilku?”
Ia berkata “besok aku akan menjenguk keluargaku di sabang “.
Aku menjawab, “ iya sayang... aku tahu, aku sudah mengemasi barang” kami di travel bag dan kamu sudah memgang tiket belum? “
“Ya, tapi aku tak akan lama disana, Cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mamaku”, jawabnya tegas.
“mengapa baru sekarang bicara, aku pikir Cuma 1 minggu kamu di sana?”, tanya balikkku kepadanya dengan penuh rasa penasaran dan sedikit kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulangannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket dengan suah payah.
“mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas
“sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena 3 minngu tidak bertemu, iya kan?” lanjutnya lagi sambil memelukku dan mencium keningku, hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan kepadanya.
Bahgianya aku di manja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang dan cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil kepadaku.
Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu pada suamiku yang sangat sayang padaku.
Kemudian aku memutuskan agar ia saja yang pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.
Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan di perdulikan oleh keluarganya harus datang atau tidak. Tidak hadir justru mebuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.
Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil mebereskan keperluan yang akan di bawa suamiku ke sabang, ia menatapku dan menghapus air mata yang jatuh di pipiku lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan akan terjadi sesuatu, aku hanya bisa menangis karena akan di tinggal pergi olehnya.
Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu berasma sama kemanapun ia pergi.
Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.
Hati ini sedih akan ditinggal pergi olehnya.
Sampai keesokan harinya, aku terus menangis... menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesdih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak bleh buruk sangka, aku hrus percaya pada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.
Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak selalu kesepian.
Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi sangat memburuk dan akupun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti dililit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai” aku mengalami pendarahan, aku dilarikan kerumah sakit oleh adik laki”ku yang kebetulan menemaniku di sana, dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium tiga.
Aku menanngis, apa yang bisa aku banggakan lagi.
Mertaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun, aku hanya bisa memeluk adikku.
Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya tanya. “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..
Sementra suamiku disana, aku tak tahu mengapa ia selalu marah marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jia ia selalu marah padaku.
Lebih baik aku tutupi dulu tentang hal ini dan aku tidak ingin membuatnya khawatir selama ia berada di sabang.
Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari selalu aku hitung.
Sudah 3 minggu suamiku di sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto foto kami ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk, kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms. Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabari lagi”
Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yang akuu tunggu pun tiba, aku menantinya dirumah.
Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dgn nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yang buruk akhir akhir ini.
Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki, dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithon yang masuk kedalam rumah kami.
Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya...
Masya allah... ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku.
Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaannya sampai akupun tertidur. Malam menujukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu allah, sang maha pencipta.
Biasanya kami selalu berjamaah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya. Aku hanya mengelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajjud 8 rakaat plus witir 3 rakaat.
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap siap untuk pergi. Alalu aku memanggilnya tapi ia takmendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yang bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.
Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon ke rumh mertuaku dan kebetulan dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab “loe pikir ajha sendiri” telpon pun lalu terputus.
Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau bicara padaku, apalagi memanjakanku.
Semakin hari ia jadi orang yang pendiam, seakan ia tlah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami, kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu aku dari mana dan mengapa aku pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yang keras. Mengapa suamiku berubah.
Bahkan yang membuatku kaget, aku pernah di tuduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku teringat... bagaimnapun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang. Aku hanya berdoa agar suamiku sadar akan prilakunya.
2 tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan, kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya dan menyiapkan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaanku telah sirna, harapan menjadi ibupun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.
Bersyukurlah... aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Akupun hanya berobat semampuku.
Sungguh... suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.
“ya. Ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.
“lusa kita siap-siap ke sabang” jawabnya tegas.
“ada apa?, mengapa?” sahutku dengan penuh keheranan.
Astagfirullah... suamiku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi untuk kami.
Dia mengatakan “kau ikut saja jangan banyak tanya”.
Lalu akupun mengemasi barang” yang akan dibawa ke sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak kenalku lagi.
5 tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula dia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yang dulu hangat penuh cinta yang di hiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari es batu. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak teriak, tapi aku tak bisa.
Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang”. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap tidak kehormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyaitku ini, dalam kesendirianku.

Kami telah sampai di sabang, aku masih lelah karena semaleman tidak tidur karena masih memikirkan. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu dan adikna. Aku tidak tahu ada acara apa ini.
Aku dan suamikupun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.
Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya kedalam lemari tua yang berada didekat pintu kamar, lemari tua yang sudah ada sebelum suamiku lahir, tiba” Tante Lia, tante yang sangat baik kepadaku memanggilku untuk segera berkumpul di ruang tengah, akupun menuju keruang keluarga yang berada di tengah rumah besar itu,yang tampak seperti rumah peninggala zaman belanda.
Kemudian aku duduk di samping suamiku, dan suamiku menunduk dengan rasa penuh kebisuan, aku tak berani bertanya kepadanya.
Tiba” neneknya membuka pembicaraan kami.
“baiklah karena kalian sudah berkumpul, nenek pingin bicara dengan kamu Fisha” neneknya berbicara dengan sangat tegas dengan sorot mata yang tajam.
“ada apa ya nek?” sahutku dengan penuh tanya.
Nenek pun menjawab “kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini belum ada tanda” kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran”.
Aku menangis... untuk inikah aku didatangkan kesini? Untuk dihina atau dipisahkan dengan suamiku?
“sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kamu menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang.
Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.
“dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.
Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluksuamiku agar kuat dengan semua ini, tapi aku tak puunya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? Di ceraikan atau dimadu?”
Masya allah, kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk menendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..
Aku selalu menutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulau kayu, mereka sangat mengira aku sangat bahgia 2 tahun belakangan ini.
“Fish, jawab!” dengan tegas ibunya langsung memintaku untuk menjawb.
Aku langsung memegang erat tangan suamiku. Dengan tangan dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.
“untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini. Aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami”.
Aku lalu bertanya kepada suamiku, “ Ayah, siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti. Yah?”
Suamiku menjawab “dia Laila”
Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, “kapan pernikahannya berlangsung? Dan apa yang harus saya siapkan. Nek?”
Ayah mertuaku menjawab “pernikahannya 2 minggu lagi”
“baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK ke kelurahan besok” dan setelah itu aku langsung permisi menuju kamar.
Tak tahan lagi... air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur, ingin rasanya aku berteriak, tapi aku sendiri disini. Tk kuat rasanya aku menerima hal ini. Cintaku telah bagi. Sakit, dan di iringi dengan sakitnya penyakitku.
Apakah karena ini suamiku menjadi orang asing selama 2 tahun belakangan ini?
Aku menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya tanya “sudah tidak cantkkah aku ini?”
Tiba” pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri di belakangku. Tak ku hapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari meja cermin rias itu.
Kemudian aku sholat, dalam sholat dan tidur aku menangis, ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Akupun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.
--------------------
Malam sebelum pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.
Di laptopku , aku menulis saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkan aku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas. Apa salahku? Sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku.
Save di my documen yang bertitle “ aku mencintaimu suamiku”
Hari pernikahan telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri di dekat jendela. Aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat lagi sinarnya. Aku berdiri sangat lama. Lalu suamiku sudah siap memakai baju pengantinnya, masuk dan berbicara padaku.
“apakah kamu sudah siap?”
Ku hapus air mata yang menetes di wajahku sambil berkata :
“nanti kalo dia sudah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk kedalam kamr pengantin bacakan doa di ubun”.nya sebagaimna yang kamu lakukan padaku dulu, lalu stelah itu.....” perkataan ku terhenti karena tak sangup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menangis meledak.
Tiba” suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”
Aku kaget mendengar kata itu, aku yang tadinya menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar binar.
“bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?” pintaku untuk meyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.
Dia mengangguk dan berkata “baik, akan aku ulangi, lalu apa BUNDA?” sambil ia mengelus wajah dan mngusap air mataku.
Dia tersenyum sambil berkata “ kita lihat saja nanti”, dia memelukku dan berkata, “Bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temuai selain mama”
Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memelukknyaerat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa ayah berubah? Aku kangen sma ayah? Aku kangen belaian kasih sayang ayah? Aku kangen dengan manjaannya ayah? Aku kesepian ayah? Dan satu lagi yang harus ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzina! Dulu .. waktu awal kita pacaran, aku memang belum  bisa melupkannya, stelah 4 bulan bersma ayah aku baru bisa nerima, jika yang dihadapanku adalah lelaki yang aku cari, bukan brarti aku pernah berzina ayah”. Aku langsung sujud di kakinya dan mencium kaki imamku sambil berkata “aku minta maaf Ayah. Aku telah membuatmu susah”
Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.
Ia memelukku sangat lama. 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba” perutku sakit. Dan ia bertnya “Bunda, baik” sajakan?” tanyanya dengan penuh khwatir.
Akupun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah membuatku baih, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang” karena dia akan menikah. Aku tak mau membuatnya khawatir. Dia harus husyu menjalani acara akad nikah tsb.
Ijab qobul pun langsung di mulai di masjid.
Ketika sampai dirumah, suamiku langsung masuk kedalam rumah saja, tanpa mencuci kakinya. Aku sangat heran. Apakah ia tak suka dengan pernikahan ini?
Malam itu aku tidak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang mereka lakukan di depan sana.
1/3 malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur di sofa tengah , ku dekati lalu kulihat. Masya allah... ternyata suamiku tidak tidur dengan wanitta ituaku duduk disofa sambil mengelus wajahnyayang lelah. Tiba” ia memegang tangan kiriku. Tentu saja aku kaget.
“kamu datang kesini, akupun tahu” ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan mengajaknya sholat lail, setelah sholat lail ia berkata “ maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego-ku. Besok kita pulang ke jakarta, biar Laila pulang sma papa, mama, dan adikku”
Aku meantapnya dengan penuh keheranan. Tapi iia langsung mengajakku untuk tidur. Saat tidur ia memelukku sangat erat, aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak tejadi. Ya allah, apakah engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mncabut nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini, apakah engkau masih izinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini.
Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”
Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.
Akupun berkata “Ayah kenapa tidak tidur dengan Lailaa?”
“Aku kangen sama Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi, kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku berkata seperti itu.
Lalu suamiku berkata “Bunda, Ayah minta maaf telah mnelantarkan Bunda.. selama ayah di sabang, ayah dengar kalau Bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isi nya kalau bunda nggak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu di beri tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin pingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengan mantan pacar bunda sebelum bunda bertemu dengan ayah, terus ayah dimarahi keluarga ayahkarena ayah terlalu memanjakan bunda”.
Aku hanya menjawab “aku sudah ceritakan itu kan. Yah. Akau tidak pernah berzina dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.
Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian di kamar pengantin. Malam itu. Aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannyabeserta sikap keluarganya juga.
Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.
Keesokan harinya..
Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali, aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.
Akupun dilarikan ke rumah sakit.
Dari kejauhan aku dengar suara dzikir suamiku.
Aku merasakan tanganku basah.
Ketika ku buka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.
Ia menggenggam tanganku dengan erat dan mengatakan, “Bunda, Ayah minta maaf..”
Berkali kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?
Aku berkata dengan suara lirih, “Yah...! bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya Yah”.
“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya Yah! Bunda sayang banget sama ayah”
Tiba” saja kakiku sangat sakit, sakitnya semakin ke atas, kakiku sudah tidak bisa bergerak lagi, aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.
Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan dan di tutup dengan kalimat tahlil.
Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku.
Aku bahagia selalu menemaninya dalam suka dan duka.
Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.
Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah Nafasku..
Untuk ibu mertuaku “Maafkan aku telah hadir dalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu. Ketahuilah Ma. Dari dulu aku selalu berdoa agar mama mersetui hubungan kami.
Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu.dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu.
--------------------------
“dan kini aku telah mebawamu ke orang tuamu, Bunda”
Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Laila di pulau kayu ini.
Aku akan membawakanmu bunga mawar yang berwarna pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri”.
Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.
Bunda akan selalu hidup di hati ayah.
Bunda..! dina tak sepertimu yang tak pernah marah.
Dina sangat berdeda denganmu, ia tak pernah mebersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah di cucinya.
Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakitpun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu.
Seandainya ayah tak menelantarkan bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan bunda yang halus.
Sekarang ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda.
Bunda.. kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.
Aku menyesal telah asik dalam egoan-ku.
Bunda, maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.
“Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu mengiyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka”.
Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.
Apakah bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?
Apakah bunda tetap menanti ayah di sana? Tetap setia di alam sana?
Tunggulah ayah disana bunda.
Bisakan? Seperti bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon.
“Ayah Sayang Bunda”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar